Shalat Jumat
SHALAT JUM’AT
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Melaksanakan shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim, kecuali lima orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak, orang sakit, atau musafir. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jumu’ah/62: 9].
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ.
“Shalat Jum’at dengan berjama’ah wajib bagi setiap muslim kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak, atau orang sakit.” [1]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ.
“Shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir.” [2]
A. Anjuran Untuk Melaksanakannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّيْ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
“Barangsiapa mandi, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah bersamanya, maka diampunilah dosanya ketika itu hingga Jum’at yang akan datang, dan dilebihkan tiga hari.“[3]
Dan juga darinya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسِ، الْجُمُعَةُ إِلَـى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَـانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.
“Shalat lima waktu, dari (shalat) Jum’at ke (shalat) Jum’at yang lain, dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar.“[4]
Peringatan agar tidak menyepelekannya
Dari Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, mereka berdua mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar kayunya:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَـاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
“Hendaklah orang-orang benar-benar berhenti meninggalkan shalat Jum’at. Atau Allah akan menutup hati mereka sehingga mereka benar-benar menjadi orang-orang yang lalai.“[5]
Dari ‘Abdullah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّيْ بِالنَّـاسِ، ثُمَّ أَحْرِقُ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوْتَهُمْ.
“Aku benar-benar ingin menyuruh seseorang agar mengimami manusia. Kemudian aku bakar rumah seluruh laki-laki yang meninggalkan shalat Jum’at.” [6]
Dari Abu Ja’d adh-Dhamri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَْنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ.
“Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena menyepelekannya, Allah akan menutup hatinya.” [7]
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ.
“Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa ‘udzur, maka dia dicatat dalam golongan orang-orang munafik.” [8]
B. Waktunya
Waktunya sebagaimana shalat Zhuhur, namun dibolehkan sebelumnya
Dari Anas Radhiyallahu anhu : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari sedang tergelincir.” [9]
Dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, dia ditanya, “Kapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Jum’at?” Dia menjawab, “Setelah beliau melakukan shalat tersebut, lantas kami mendatangi unta-unta kami. Lalu kami menjalankannya sedang matahari tergelincir.”[10]
C. Khutbah
Hukumnya wajib. Karena beliau senantiasa melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya sama sekali. Juga berdasarkan sabda beliau:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”[11]
1. Petunjuk beliau dalam khutbah
Beliau pernah bersabda:
إِنًَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيْلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.
“Sesungguhnya panjang shalat dan singkatnya khutbah seseorang menunjukkan kefaqihannya (kefahamannya). Maka panjangkan shalat dan persingkatlah khutbah. Sesungguhnya kata-kata yang indah ibarat sihir.” [12]
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beberapa kali. Shalat dan khutbah beliau seimbang.” [13]
Dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya meninggi, dan semangatnya berkobar. Seolah-olah beliau memperingatkan pasukan sambil berkata, “Musuh kalian akan datang pada pagi dan petang!” [14]
2. Khutbatul Haajah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawali khutbah, nasihat, dan ceramah, serta berbagai pelajarannya dengan khutbah ini, yaitu yang dikenal dengan khutbatul Haajah. Bunyinya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِـاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْـكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah. Kami memujinya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kami, serta keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa ditunjuki oleh Allah, maka tidak ada yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang mampu menunjukinya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’/4: 1].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab/33: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنًَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama). Karena setiap pekara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
“Barangsiapa merenungkan khutbah-khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para ٍSahabatnya, maka dia akan mendapatkan banyak pelajaran tentang petunjuk, tauhid, sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, pokok-pokok iman secara menyeluruh, dan dakwah ke jalan Allah. Begitupula nikmat-nikmat-Nya yang membuat para makhluk cinta kepada-Nya, juga hari pembalasan beserta adzab-adzab yang menakutkan. Terdapat juga perintah terhadap makhluk agar senantiasa berdzikir dan bersyukur kepada-Nya. Hal ini membuat mereka dicintai Allah. Sehingga mereka selalu ingat dengan keagungan Allah, sifat-sifat, dan asma’-Nya yang membuat-Nya cinta kepada para hamba-Nya. Lalu mereka pun diperintahkan agar taat, bersyukur, dan berdzikir. Hal ini membuat mereka cinta kepada-Nya. Setelah itu para pendengar akan pulang dengan perasaan cinta kepada Allah, dan Allah pun mencintai mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali menyampaikan khutbah dengan al-Qur-an dan surat Qaaf.” [15]
Ummu Hisyam binti al-Harits bin an-Nu’man Radhiyallahu anhu berkata, “Tidaklah aku menghafal surat Qaaf melainkan dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menyampaikan khutbah dengan surat tersebut di atas mimbar.” [16]
3. Wajibnya diam dan larangan berbicara ketika khutbah berlangsung
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَـاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَاْلإِمَـامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.
“Jika pada hari Jum’at, saat khatib sedang khutbah engkau berkata pada temanmu “diam!”, maka engkau telah mengucapkan kata yang sia-sia (perkataan yang bathil).” [17]
4. Kapankah seseorang dianggap masih mendapatkan shalat Jum’at?
Shalat Jum’at terdiri dari dua raka’at yang dikerjakan secara berjama’ah. Barangsiapa meninggalkan jama’ah shalat Jum’at karena memang tidak wajib baginya atau ada halangan, maka dia shalat Zhuhur empat raka’at. Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Jum’at bersama imam, maka dia telah mendapatkan shalat Jum’at.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاَةِ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.
“Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat Jum’at, maka dia telah mendapatkan shalat.” [18]
5. Shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Jum’at
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ أَتَـى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّـى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah dengannya, maka di-ampunilah dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain, dan dilebihkan tiga hari.” [19]
Barangsiapa datang sebelum shalat Jum’at dimulai, maka hendaklah shalat sunnah semampunya hingga imam tiba. Adapun yang pada zaman ini dikenal sebagai shalat sunnah qabliyyah Jum’at, maka tidak ada dasarnya sama sekali. Sesungguhnya yang dikenal adalah: “Jika Bilal selesai adzan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbah. Tidak seorang pun melakukan shalat dua raka’at. Tidak pula terdapat adzan melainkan satu kali. Jadi, kapan mereka melakukan shalat sunnah tersebut?” [20]
Adapun seusai shalat Jum’at, maka boleh shalat empat atau dua raka’at sesuai keinginan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا.
“Jika salah seorang di antara kalian telah melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah shalat empat raka’at sesudahnya.” [21]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak shalat setelah Jum’at hingga beliau pulang dan shalat dua raka’at di rumahnya.”[22]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 942)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3111), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/394 no. 1054), ad-Daraquthni (II/3 no. 2), al-Baihaqi (III/172), dan Mustadrak al-Hakim (I/288).
[2]. Ad-Daraquthni (II/4 no. 4).
[3]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6062)], Shahiih Muslim (II/587 no. 857).
[4]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3875)], Shahiih Muslim (I/209 no. 233 (16)), dan Sunan at-Tirmidzi (I/138 no. 214), tanpa kalimat: “وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ (dan Ramadhan ke Ramadhan).”
[5]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5480)], Shahiih Muslim (II/591 no. 865), dan Sunan an-Nasa-i (III/88).
[6]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5142)], Shahiih Muslim (I/452 no. 652).
[8]. Hasan Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 923)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/377 no. 1039), Sunan at-Tirmidzi (II/5 no. 498), Sunan an-Nasa-i (III/88), dan Sunan Ibni Majah (I/357 no. 1125).
[9]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6144)], ath-Thabrani dalam ash-Shagiir (I/170 no. 422).
[10]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 960)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/386 no. 904), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/427 no. 1071), dan Sunan at-Tirmidzi (II/7 no. 501).
[11]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 597)], Shahiih Muslim (II/588 no. 858 (29)).
[12]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 262)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/111 no. 631).
[13]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2100)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 618), Shahiih Muslim (II/594 no. 869).
[14]. Shahih: [Shahih Sunan at-Tirmidzi (no. 418)], Shahiih Muslim (II/591 no. 886), dan Sunan at-Tirmidzi (II/9 no. 505).
[15]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 4711)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 611), Shahiih Muslim (II/591 no. 866), dan Sunan at-Tirmidzi (II/9 no. 505).
[16]. Zaad al-Ma’aad (I/116).
[17]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/414 no. 934)], Shahiih Muslim (II/582 no. 851), Sunan an-Nasa-i (III/104), Sunan Ibni Majah (I/352 no. 1110), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/460 no. 1099) secara ringkas, dan Sunan at-Tirmidzi (II/12 no. 5111) dengan lafazh yang mirip.
[18]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 911)], Sunan an-Nasa-i (III/112), dan Sunan Ibni Majah (I/356 no. 1110) dengan lafazh yang serupa.
[19]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 622)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5999), Sunan an-Nasa-i (III/112), dan Sunan Ibni Majah (I/356 no. 1121) dengan lafazh yang serupa.
[20]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6062)], Shahiih Muslim (II/587 no. 857).
[21]. Zaad al-Ma’aad (I/118).
[22]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 625)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 640), Shahiih Muslim (II/600 no. 882), dan lafazh ini miliknya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/481 no. 1118), dan Sunan at-Tirmidzi (II/17 no. 522).
[23]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (II/600 no. 822 (71))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/425 no. 937), dalam riwayatnya tidak terdapat lafazh: “Di rumahnya.”
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/646-shalat-jumat.html